Minggu, 04 Desember 2011

Cerpen: Avokado dan Kananga Odorata

Avokado dan Kananga Odorata

Shofwan Najmu*

Avokado dan Kananga Odorata, yang biasa dipanggil Kenanga, sering kali menjadi pusat perhatian setiap mata yang singgah. Apalagi Kenanga, ia acap sekali menjadi pusat perhatian banyak orang. Bunganya yang indah serta harum mewangi semakin menambah pesonanya. Di bawah kerindangan mereka, diberi kursi panjang tempat di mana sang pemiliknya sering berteduh, melepas penat dan lelah, serta mentadabburi akan ciptaan-Nya.
Di saat mereka sedang asyik-asyiknya bertasbih mengagungkan asma-Nya, gadis manis berparas rupawan pemilik taman itu keluar. Sesaat ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi taman, kemudian matanya tertuju ke arah Avokado dan Kenanga. Ia tersenyum manis kepada mereka berdua. Avokado dan Kenanga pun membalas senyumnya kepada gadis itu. Tentu saja gadis itu tak mampu merasakan senyum mereka.
“Coba ia bisa merasakan senyum kita, mungkin ia akan senang sekali,” ucap Avokado setengah berharap.
“Iya,” sahut Kenanga.
Gadis itu pun menghampiri Avokado dan Kenanga, kemudian ia menyiramkan air segar dari teko lumayan besar kepada mereka berdua sambil mengambil sampah-sampah yang berserakan di sekitar mereka. Lalu ia menuju tumbuhan lainnya. Aktivitas yang tak pernah ia tinggalkan.
“Wah, Pak, segar banget ya!” ujar Kenanga.
“Iya nih, segar banget! Setiap pagi kita selalu diberi nutrisi yang menyehatkan tubuh kita. Tapi, percuma aja, Bapak sudah tua. Tinggi Bapak cuma sampai 10 meter. Kamu enak, masih bisa berkembang. Umur kamu juga jauh lebih tinggi dari Bapak,” keluh Avokado.
“Bapak nggak usah bersedih, tenang aja, selama manusia masih menjaga dan melestarikan kita, kita akan tetap hidup,” Kenanga berusaha menghibur.
***
Matahari kian beranjak. Sinarnya semakin meyeruak. Avokado dan Kenanga tengah bercakap-cakap.
“Pak Avokado, saya sangat senang sekali berada di tempat seperti ini. Suasana yang asri, lingkungan yang bersih, penduduknya yang ramah dan bersahabat dengan lingkungan, serta pemilik taman ini yang begitu semangat melestarikan alam,” ujar Kenanga menaruh simpati.
“Iya, Bapak juga senang tinggal di sini. Suasana seperti inilah yang Bapak harapkan sejak kecil, dan harapan teman-teman kita lainnya.”
“Memangnya, sejak kapan Bapak berada di taman ini?” tanya Kenanga.
“Kalau sejak kapannya Bapak tidak ingat pasti. Yang Bapak ingat, ketika Bapak masih kecil, dan kamu belum ada di sini, suasananya tidak seperti ini,” jelas Avokado.
“Lantas, keadaan ketika Bapak masih kecil seperti apa?” tanya Kenanga penuh tanda tanya.
Avokado pun mulai bercerita.
“Kamu beruntung, kamu hidup di saat keadaan sudah jauh berubah. Dahulu kampung ini tempat bergumulnya bencana. Bencana alam silih berganti tandang ke daerah sini tiada henti.”
“Dulu …,” ia menghela nafas sesaat.
“Dulu, daerah ini sangat kacau sekali. Sistem pemerintahan yang kacau. Sistem kemanusiaannya yang sudah tak bermoral. Kemaksiatan merajalela. Masyarakatnya yang enggan memperbaiki keadaan. Masyarakat yang kurang bersahabat dengan alam. Sampai-sampai Bapak dan teman-teman Bapak, saat itu, berdiri murung di bibir keputus-asaan. Bapak dan teman-teman hampir punah karena tidak ada yang peduli akan kehadiran kami di sini. Tapi Bapak dan yang lainnya mencoba tuk bertahan. Saat itu, kami seakan berada di suatu tempat, di mana suara dinyanyikan dengan nada keindahan sekaligus kepedihan. Tempat itu bernama kerinduan. Kami rindu akan suasana yang aman dan nyaman.
“Namun, masyarakat semakin tidak ada yang sadar. Mereka semena-mena merusak alam. Kemaksiatan semakin mereka galakkan. Di bawah Bapak, di bawah kerindangan Bapak ini, mereka mulai berani menampakkan kemaksiatan. Syariat sudah tidak ada lagi yang menegakkan. Mereka berjudi. Mabuk-mabukkan. Sepasang muda-mudi berdatangan tuk berpacaran. Bahkan, mereka berani berbuat mesum di hadapan Bapak. Astagfirullah al-‘Adzim! Kemaksiatan dan kedzaliman seakan menjadi hal yang lumrah di mata mereka.”
“Hari silih berganti. Namun sikap mereka tak pernah surut dalam henti. Keseimbangan alam semakin terganggu akibat ulah manusia sendiri. Alam pun menjadi bosan akan tingkah mereka yang tak mengenakkan hati. Akhirnya, Allah mengamanatkan kepada alam untuk menegur mereka yang tak pernah sadar akan kekerdilan diri.”
“Alam pun menggoncangkan daerah mereka dengan lempengannya. Maka terjadilah gempa. Sebagian rumah mereka melebur menyatu dengan tanah. Orang-orang berlarian ke sana dan ke sini tanpa arah. Bagaikan segerombolan semut yang lari ketakutan akibat gertakan manusia.”
“Nah, yang lebih tragis, yang membuat hati Bapak sakit teriris-iris, Bapak melihat seorang Ibu yang tengah hamil muda mati tertiban reruntuhan kayu rumah. Reruntuhan kayu itu tepat mengenai perutnya yang besar. Pecah. Darah pun bercucuran. Ibu dan anak yang dikandungnya itu tak terselamatkan. Hati Bapak seperti tersayat sembilu. Air mata tak terbendung. Suasana melankolis menjebak. Air mata Bapak pun mengalir tak berkesudahan.”
“Bapak mencoba bertanya kepada lempengan, ‘Hai, Lempengan! Kenapa kamu berbuat seperti itu?’ tanya Bapak. Ia pun menjawab, ‘Avokado, jangan salahkan alam jika alam tidak lagi bersahabat dengan mereka. Ini amanat Tuhan untuk mereka atas tingkah mereka yang semena-mena,’ jawab Lempengan. Hati Bapak mengamini jawaban Lempengan. Balasan inilah yang seharusnya diterima para perusak dan pelaku kemaksiatan  di dunia!”
Avokado terdiam sejenak. Suasana hening sesaat Ia tidak sanggup lagi meneruskan ceritanya. Tangisnya pun tumpah karena mengingat masa lalu. Tangis yang dirangkul hening menyibak sukma. Isak tangisnya bagaikan kapas yang melayang ringan. Ia beranggapan, mengingat masa lalu hanya akan menggoreskan kembali luka lama.
“Lanjutkan, Pak, ceritanya?!” ujar Kenanga memaksa.
“Sudahlah, kita lanjutkan aja ceritanya nanti sore. Coba lihat ke bawah! Gadis manis itu tengah asyik duduk di bawah kerindangan kita sambil membaca al-Quran, lalu ia mengamati kita. Tampaknya ia sedang mentafakkuri akan kehadiran kita. Bapak jadi malu. Ia mencoba merasakan akan kehadiran kita, eh, kitanya malah menghiraukan kehadirannya.”
***
Matahari kian beranjak ke peraduan. Senja mulai berwarna keperakkan. Sekelompok burung beterbangan dari langit utara kembali ke sangkar. Gadis manis itu tengah asyik duduk di taman, sambil menikmati suasana alam. Di tangannya terlihat buku yang tengah dibacanya. Avokado dan Kenanga menatapnya dengan hati penuh kesejukkan.
“Pak Avokado, coba ceritakan kembali lanjutannya?!” pinta Kenanga dengan sesungging senyuman yang indah.
“Kamu masih penasaran?” tanya Avokado.
“Iya.”
“Baiklah, akan Bapak lanjutkan ceritanya. Jadi, dulu itu bencana silih berganti tandang ke daerah sini. Kemudian, banjir mulai mangkal di daerah sini. Hampir setiap musim hujan daerah sini sering dilanda kebanjiran. Bahkan, menjadi jadwal tetap bagi air untuk menggenangi daerah sini.”
“Bapak pun bertanya kepada air, ‘Kenapa kamu menjadi suka bersilaturahmi ke daerah sini?’ Air pun menjawab, ‘Ini semua akibat ulah manusia yang tak berpendidikan. Pohon-pohon mereka tebang semaunya tanpa mengganti dengan pohon yang baru. Sampah-sampah mereka buang di sembarang tempat: di jalanan, saluran air, sungai, dan lain-lain. Sampah pun menumpuk. Mampet. Akhirnya air meluap dan turun ke daratan. Inilah balasan yang pantas bagi para perusak dan pelaku kemaksiatan!’ ujar air menjelaskan. Lagi-lagi hati Bapak mengamini. Memang inilah yang pantas untuk mereka. Harta benda mereka pun raib ditelan air. Makanan susah mereka dapatkan. Penyakit mulai berdatangan.”
“Singkat cerita, gadis manis itu datang. Ia memang asli daerah sini. Hanya, ketika ia berumur 4 tahun, ia dan keluarga pindah ke Bogor karena Bapaknya ada tugas di daerah Bogor. Mereka juga pindah hanya untuk sementara. Ketika gadis itu beranjak SMP, ia merantau ke Bandung untuk menuntut ilmu di pesantren. Selama 6 tahun ia di Bandung. Lulus dari pesantren, ia kembali ke Bogor. Dan ia melanjutkan kuliahnya di universitas Islam ternama, di Jakarta.”
“Dari mana Bapak tahu tentang gadis itu?” tanya Kenanga penasaran.
“Bapak tahu karena ia pernah bercerita kepada teman dekatnya. Ia bercerita di bawah kerindangan Bapak,” jawab Avokado.
“Terus, Pak, lanjutkan ceritanya!” pinta Kenanga.
“Lalu, gadis dan keluarganya pun datang. Para warga menyambutnya dengan baik—sebelum mereka pindah, ke dua orang tuanya merupakan orang yang terpandang di daerah sini. Mengetahui ada yang tidak beres di daerahnya, Bapak gadis itu mencoba menata kembali, dan gadis itulah yang menjadi motornya. Pengalaman-pengalaman di pesantren dan di universitasnya ia coba terapkan. Para warga pun menyambutnya dengan penuh antusias.”
Berawal dari diri sendiri. Itulah yang pertama kali ia aplikasikan. Ia mencoba menata keadaan rumah dan halamannya. Ia sulap halamannya yang lumayan luas, tempat di mana kita berdiri kokoh sekarang, menjadi taman yang sederhana. Ia terus kembangkan. Ia pun membuat lahan serapan dari bahan-bahan yang bisa menyerap air. Sampah-sampah organik dan non organik ia pisahkan.”
“Merasa sudah saatnya, ia mencoba menggaet pemerintah. Ia mencoba untuk bekerja sama dalam memperbaiki sistem pemerintahannya. Peraturan larangan membuang sampah sembarangan diterapkan. Bersama pemerintah, ia mencoba menata kembali daerahnya. Para warga diharuskan membuat lahan serapan. Alam harus dilestarikan. Tumbuh-tumbuhan harus ditanam melalui kegiatan pertanaman: penghijauan lingkungan, hutan kota, agroforestry, grass barier, dan lain-lain. Nah, pada saat inilah kamu, Kenanga, datang. Kemudian pemerintah mengadakan peningkatan kapasitas, perluasan dan melancarkan saluran drainase. Mengadakan perubahan penggunaan lahan. Membuat bangunan yang dapat membantu mengendalikan aliran permukaan. Dan pembuatan sumur resapan.”
“Gadis itu pun mengadakan penyuluhan-penyuluhan dalam menanggulangi masalah bencana alam. Selain itu, gadis itu berusaha menata kembali kehidupan rohani masyarakatnya. Ia mencoba mengikis kemaksiatan dan menyemai kembali kebaikan. Kegiatan rohani ia galakkan.”
“Namun, usahanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selama 1 tahun, 2 tahun, usahanya belum dapat dirasakan. Akan tetapi, dengan kesadaran, kegigihan, dan kesabaran penduduknya, selama kurang lebih 6 tahun, apa yang diimpikan pun terwujudkan. Suasana yang selalu kita dambakan: bersahabat dengan sesama, bersahabat dengan alam, dan bersahabat dengan Tuhan pun menjadi kenyataan. Seperti suasana yang saat ini tengah kita rasakan.”
Avokado, Kenanga, dan tumbuhan lainnya terdiam sesaat. Langit perak mulai membias dalam kelam. Langit pun mulai berwarna kehitam-hitaman. Suasana sendu akan peristiwa di masa lalu semakin menyayat kalbu, beriringan dengan turunnya jubah hitam malam yang kelam dengan perlahan-lahan. Gadis itu masih duduk manis di bawah kerindangan Avokado dan Kenanga sambil menunggu adzan Maghrib tiba. Kenanga pun membuka suara.
Subhanaallah! Sungguh berjasa dan berhati mulia sekali gadis itu. Siapakah namanya gadis itu, Pak Avokado?” tanya Kenanga menaruh simpati.
“Kamu belum tahu?”
“Belum, Pak.”
“Namanya Nur Afiifah. Emangnya kenapa?”
“Seandainya saja saya manusia, akan kupinang ia untuk menjadi istri saya.” ***



*Shofwan Najmu, lahir di Jakarta, 16 Oktober 1988. Kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin, jurusan Hadits. Pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi, editor, layouter dan wartawan di beberapa media Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir). Beberapa tulisannya pernah dimuat di media nasional Indonesia—baik cetak maupun online—seperti Seputar Indonesia (Sindo), Republika, Annida Online, dll.




Jangan lupa komentarnya, ya!! ^_^ (Bagi yang tidak memiliki akun blogger atau sejenisnya, caranya: pilih profile Anda dengan memilih Anonymous di kolom "Beri Komentar Sebagai" di bawah. Setelah itu tuliskan komentar, lalu klik Poskan Komentar, kemudian ikuti perintahnya. Beres. Jangan lupa kasih keterangan nama yaaa .... ^_^ ) 

2 komentar:

TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG KE DUNIA KATA SHOFWAN NAJMU ^_^
Photobucket

Anda Pengunjung Ke ....

Jejak Pengunjung

Page Rank

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net